Senin, 07 November 2011

Upaya untuk Meningkatkan Motivasi Berprestasi Para Pegawai

Sumber Daya Manusia (SDM) di sebuah perusahaan atau instansi merupakan aset yang sangat berharga melebihi dari sebuah alat atau mesin karena seorang individu memiliki potensi dan juga kompetensi yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan ataupun kemajuan perusahaan dan instansi tersebut. Hal ini dikarenakan potensi dan juga kompetensi seorang individu dapat lebin digali dan juga ditingkatkan lagi demi dapat meningkatkan nilai pada diri individu dan perusahaan atau instansi tersebut. Namun, tidaklah mudah untuk menggali potensi dan juga meningkatkan kompetensi para pegawai tersebut karena hal tersebut terkait erat dengan keinginan kuat (strong willingness) dari para pegawai tersebut dan juga kesempatan seluas-luasnya yang diberikan oleh perusahaan atau instansi untuk mendukung para pegawainya mengembangkan kapasitas dirinya. Pengembangan kapasitas diri, penggalian potensi diri, dan juga peningkatan kompetensi diri dapat dilakukan dengan cara salah satunya adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya dimana para pegawai dapat memperoleh ilmu baru ataupun mendapatkan ilmu yang lebih dalam dan luas lagi daripada ilmu yang sudah diperoleh di jenjang pendidikan sebelumnya. Tentu ini akan berimplikasi sangat positif dan juga memberikan banyak manfaat bagi kemajuan perusahaan atau instansinya. Para pegawai yang belum memiliki kebutuhan berprestasi diberikan dukungan atau motivasi untuk memiliki kebutuhan tersebut dan bagi pegawai yang sudah memiliki kebutuhan motivasi berprestasi tersebut dupayakan untuk dipertahankan atau bahkan ditingkatkan lagi kebutuhan berprestasinya tersebut. Oleh karena itu, saya akan membahas tentang upaya-upaya bagaimana meningkatkan motivasi berprestasi bagi para pegawai.
Adapun upaya-upaya untuk meningkatkan motivasi berprestasi yang dapat dilakukan oleh atasan kepada staf menurut saya, yaitu:
1.       Seorang atasan seyogyanya selalu memberikan dorongan (encouragement) dan juga motivasi kepada staf-stafnya untuk terus meningkatkan kompetensi dan kapasitas diri dengan cara menambah ilmu atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi sampai pada titik staf sudah merasa cukup atau bahkan tidak mampu lagi meningkatkan pendidikannya lagi karena aspek keterbatasan intelektualitas, usia, tenaga, dan sebagainya.
2.       Bentuk dorongan, dukungan dan juga motivasi yang dapat diberikan oleh atasan kepada para staf yang berminat untuk melanjutkan jenjang pendidikannya adalah seperti berikut:
a.  Selalu memberikan jalan dan juga kemudahan dalam hal mengeluarkan surat permohonan izin belajar kepada para stafnya dan juga tidak menunda-nunda proses permohonan izin belajarnya jika pembiayaan kuliah ditanggung sendiri oleh staf yang bersangkutan karena dalam hal ini instansi atau perusahaan tidak mengeluarkan biaya apapun untuk kuliah pegawai atau staf tersebut, namun instansi atau perusahaan akan diuntungkan dengan adanya pegawai yang meningkatkan kompetensi dan kapasitas dirinya. Tentunya apabila pemberian izin tidak dilakukan atau adanya penundaaan terhadap surat permohonan izin belajarnya, maka ini dapat membuat motivasi dari para staf tersebut dapat menjadi berkurang dan bahkan menurun. Hal ini dapat merugikan diri staf dan juga memberikan dampak negatif kepada kemajuan instansi atau perusahaan tersebut karena peningkatan kompetensi atau kapasitas diri akan berimbas secara positif pada instansi atau perusahaan dengan mempunyai banyak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi dan kompeten. Kepada pegawai yang sudah diberikan surat permohonan izin belajarnya, seyogyanya juga menyadari bahwa tugas perkuliahan tidak akan mengganggu pelaksanaan tugas sehari-hari di kantor dan juga tetap terus masuk kerja sesuai dengan jadwal kerja di instansi atau perusahaan tersebut.
b.  Menyediakan atau memberikan fasilitas kepada para staf atau pegawai yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan dengan pemberian beasiswa penuh (full-bright scholarships) dari instansi atau perusahaannya sendiri ataupun beasiswa dari instansi atau perusahaan lain. Atasan seyogyanya juga selalu menginstruksikan para staf agar terus meng-update pengumuman-pengumuman penerimaan beasiswa baik di majalah dinding ataupun website di kantornya agar semua pegawai atau staf dapat membaca dan memahami bagaimana prosedur persyaratan pengajuan beasiswa tersebut.
c.  Jika intansi atau perusahaan tidak dapat memberikan beasiswa penuh kepada para staf atau pegawainya, mungkin salah satu solusinya adalah instansi atau perusahaan dapat memberikan bantuan biaya kuliah dengan porsi setengah atau seperempat dari keseluruhan biaya kuliah para staf tersebut yang berupa pinjaman biaya kuliah dan biaya tersebut dapat dikembalikan kepada instansi atau perusahaan dengan cara mengangsur setiap bulan dan disesuaikan dengan jumlah gaji yang diterima oleh pegawai sehingga tidak memberatkan pegawai atau staf tersebut.
3.          Seorang atasan juga seyogyanya selalu memberikan support (dukungan), paling tidak secara moril kepada para pegawai yang sudah dalam proses melanjutkan jenjang pendidikan dengan mengatakan, “Saya tetap ingin anda berkonsentrasi pada kuliah anda dan juga dapat menyelesaikan kuliah tersebut dengan hasil yang memuaskan. Jangan sampai tugas-tugas kantor membuat aktivitas kuliah anda terbengkalai”. Itulah yang saya peroleh dari atasan saya yang sangat mendukung dan men-encourage saya dalam menjalankan kuliah.

Kamis, 03 November 2011

Penerapan Kode Etik Psikologi dalam Penelitian

Kode etik tidak terlepas dari setiap aktivitas profesional. Penyusunan kode etik bertujuan untuk menetapkan standar perilaku atau pedoman bagi para profesional, khususnya dalam hal ini di bidang Psikologi, dalam menjalankan fungsinya dengan mengacu pada kesejahteraan individu-individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut. Tidak terkecuali dalam aktivitas penelitian ilmiah, di mana kegiatan penelitian tersebut hampir selalu melibatkan manusia sebagai responden atau subyek penelitian. Guna melindungi hak dan kesejahteraan responden, serta melindungi peneliti dari hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dan reputasinya sebagai seorang profesional, maka disusunlah kode etik yang berfungsi sebagai safeguard (pelindung), dan mengatur responsibilitydari profesional yang bertindak sebagai peneliti. Dalam melakukan pengambilan data sebagai salah satu bagian dari kegiatan penelitian, Graziano (2000) mengatakan bahwa seorang peneliti tidak hanya melakukan persiapan yang bersifat teknis seperti memilih partisipan, kontrol, pengukuran, dan sebagainya, namun juga melakukan persiapan yang berkaitan dengan etika penelitian. Etika penelitian, dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti akan memperlakukan organisme, manusia dan hewan, untuk tujuan penelitian. Pedoman etika penelitian meliputi penelitian yang dilakukan terhadap manusia maupun hewan, yang menekankan pada perlakuan yang manusiawi dan sensitif terhadap partisipan yang seringkali menghadapi berbagai tingkat risiko dan ancaman dalam menjalani prosedur penelitian. Sebelum meminta kesediaan partisipan, peneliti harus yakin bahwa prosedur penelitiannya telah sesuai dengan nilai-nilai etis.
Dalam kode etik yang mengatur aktivitas penelitian, terdapat isu-isu yang terkait dengan deception(penipuan), invasion of privacy (pelanggaran terhadap rahasia pribadi), dan hak partisipan untuk memperoleh informasi yang terkait dengan penelitian serta kebebasan memilih, yang umum diterapkan.  Decepti on atau ‘penipuan’ umum dilakukan dalam penelitian meski sifatnya ringan, misalnya ketika peneliti tidak memberitahukan maksud sebenarnya dari treatment yang diberikan kepada responden.Invasion of privacy potensial terjadidalam penelitian yang melibatkan area sensitif yang terkait dengan penyesuaian psikologis seperti perilaku seksual, sikap atau pikiran tertentu terhadap kelompok sosial tertentu yang mungkin berdampak pada rasa aman secara sosial yang dialami oleh responden, atau hubungan dengan pasangan. Akses peneliti terhadap data rekam medis pasien atau data perkembangan prestasi belajar siswa yang bersifat rahasia, juga berpotensi terhadap terjadinya pelanggaran tersebut. Hal lainnya yaitu hak partisipan untuk memperoleh informasi yang terkait dengan penelitian, menuntut peneliti untuk memperoleh persetujuan baik secara lisan maupun tertulis mengenai kesediaan partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Dalam hal ini, peneliti tidak diperkenankan untuk memaksa orang lain untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. 
Isu-isu tersebut di atas juga berkaitan dengan situasi-situasi dilematis yang dihadapi peneliti dalam menjalankan kegiatan penelitian, di antaranya adalah adanya konflik kepentingan. Di satu sisi, peneliti berupaya untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan solusi dari permasalahan yang terjadi, namun di sisi lain, upaya yang ia lakukan untuk memperoleh solusi tersebut dapat melanggar hak individu atas rahasia pribadi. Permasalahan moral (moral problem) juga seringkali muncul, di mana dalam upaya memperoleh informasi yang akurat, beberapa peneliti melakukan deception, yang dapat membuat partisipan atau responden merasa tidak nyaman. Selain itu, penelitian juga berpotensi menyebabkan responden juga mengalami kerugian sebagai akibat dari partisipasinya tersebut. Untuk mengurangi kerugian yang mungkin akan dialami oleh responden, maka disusunlah kode etik penelitian sebagai pedoman bagi peneliti untuk meminimalisir atau mengurangi dampak yang merugikan bagi responden atau subyek penelitian.
 
I. Ethical Conduct as Guidelines
Dalam menjalankan penelitian yang melibatkan manusia sebagai partisipan, penting untuk diingat bahwa partisipanlah yang memutuskan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti harus memperoleh persetujuan secara lisan maupun tertulis yang menyatakan kesediaan mereka untuk menjadi bagian dalam kegiatan penelitian. Jika dalam penelitian deceptionharus digunakan sebagai metoda yang dapat meningkatkan kemurnian hasil penelitian, maka peneliti harus yakin bahwa deception yang dilakukan tidak menimbulkan risiko yang serius atau bersifat jangka panjang kepada partisipan, dan peneliti wajib menjelaskan tentang tujuan deception tersebut kepada partisipan dalam  sesi debriefing, di akhir penelitian. Selain itu, peneliti harus menjaga kerahasiaan data  hasil penelitian, terutama yang terkait dengan identitas partisipan.
Tanggung jawab secara etika dalam penelitian terletak di pihak peneliti. Karenanya, dalam menjalankan penelitian yang melibatkan manusia, maka peneliti harus:
1. Menilai kegunaan penelitian terhadap ilmu pengetahuan.
2. Mempertimbangkan tingkat risiko terhadap partisipan, apakah keuntungan penelitian yang diperoleh dapat mengatasi kerugian yang diakibatkan oleh proses penelitian, dan apakah pedoman-pedoman etika telah diikutsertakan untuk meminimalisir risiko. Jika risiko terhadap partisipan lebih besar dari manfaat yang diperoleh penelitian, maka peneliti harus merancang ulang atau menghentikan penelitian.
Selain melibatkan manusia sebagai partisipan, peneliti juga seringkali melibatkan hewan sebagai bagian dari penelitian yang dilakukan. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan terhadap manusia, terdapat etika yang berkaitan dengan bagaimana seharusnya peneliti memperlakukan hewan-hewan tersebut, mengingat hewan adalah captive participant yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan terhadap hewan umumnya lebih bersifat invasive dibandingkan dengan penelitian terhadap manusia, dan karenanyatingkat risiko yang dihadapi hewan lebih serius dibandingkan dengan manusia.

Untuk meminimalisir atau mengurangi risiko yang berdampak kerugian bagi partisipan, maka berbagai asosiasi atau masyarakat profesional menyusun kode etik sebagai pedoman bagi para profesional, khususnya dalam melakukan penelitian. Dalam blog saya selanjutnya akan dikaji kode etik yang terkait dengan penelitian, yang disusun oleh American Psychological Association (APA) dan Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi).

SUMBER PUSTAKA: 

Purwakania Hasan, Aliah B. (2009). Kode Etik Psikologi & Ilmuwan Psikologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

http://www.scribd.com/doc/28552676/Etika-Dalam-Penelitian-Psikologi-Makalah-Kelompok-7